Taneh Karo Simalem Bumi Turang

16 Agustus 2018

Biografi Djaga Depari

Djaga Depari dilahirkan di Desa Seberaya, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo pada tanggal 5 Januari 1922. Ayah Djaga Depari adalah Ngembar Sembiring Depari. Ayahnya bekerja sebagai seorang mandor besar Wer bas elkawe (Perusahaan Pekerjaan Umum) Deli Hulu pada masa penjajahan Belanda. Ibu Djaga Depari adalah Siras br Karo Sekali. Djaga depari mempunyai empat saudara perempan dan satu saudara laki-laki. Djaga Depari merupakan anak kedua. Berikut nama-nama saudara-saudari Djaga Depari : Tempat br Depari, Djalim Depari, Nengeni br Depari, Ngasali br Depari dan Senter br Depari.

Sejak usia dini, walaupun Djaga Depari seorang anak mandor, namun dalam pergaulan beliau tidak tinggi hati, melainkan menyatu dan membaur dengan anak-anak sebayanya. Sebagai anak yang masih kecil, seperti kebiasaan masyarakat di desanya, pekerjaan sehari-hari di samping sekolah hanyalah bermain-main dan bersenang-senang saja, tidak pernah memikirkan segala sesuatunya yang diperlukan. Sebab, meskipun sesuatunya sangat sederhana, namun karena didikan kedua orang tuanya, semuanya diterima apa adanya. Djaga Depari di lingkungan keluarga, kerabat, teman dekat sering dipanggil Djaga atau Depari saja. Teman satu permainan beliau sama seperti anak lainnya yang bermain dengan anak biasa tanpa memandang apa kedudukan orang tua mereka.

Umumnya pada jaman penjajahan, tidak sembarangan orang yang dapat bersekolah. Hal itu disebabkan mahalnya biaya sekolah pada saat itu. Karena Djaga Depari anak seorang mandor, beliau dapat langsung dimasukkan ke sekolah Belanda. Pendidikan dasar Djaga Depari dimulai pada tahun 1935. Saat itu beliau disekolahkan di salah satu sekolah Belanda yaitu di Christelijk Hollandsch Inlandche School (Christelijk HIS).


Setelah menamatkan sekolah di Christelijk HIS ini, Djaga Depari melanjutkan jenjang pendidikan ke sekolah HIS lanjutan di Medan. Di masa penjajahan Belanda dulu, anak-anak Indonesia yang bisa belajar di HIS dapat dihitung dengan jari. Hal itu bukan pengaruh kecerdasan, namun karena mahalnya biaya sekolah pada saat itu. Pada masa itu umumnya masyarakat Indonesia berpenghasilan sangat rendah.

Di antara pemuda pelajar Karo yang bisa duduk di berbagai sekolah lanjutan HIS yang ada di kota Medan saat itu adalah : Amin Adab Sebayang, Asan Sini Suka, Bena Pande Besi Sitepu, Bom Ginting, Djamin Ginting, Jaga Bukit, Kerani Bukit, Keras Surbakti, Kontan Bangun, Koran Karo-karo, Lahi Raja Munte, Manis Manik, Mbaba Bangun, Nelang Sembiring, Netap Bukit, Ngerajai Meliala, Payung Bangun, Metehsa Tarigan, R.I. Manang Perangin-angin, R.N. Maha, Rakutta Sembiring, Raja Sungkunen Ginting Suka, Roga Ginting, Rumani Barus, Selamat Ginting dan Teramuli Gintings.

Ketika duduk di bangku HIS lanjutan inilah Djaga Depari dan beberapa kawan sekolahnya membentuk sebuah kelompok musik. Djaga Depari memegang alat musik biola pada kelompok musik ini. Beliau di bidang musk sangat piawai dalam menggesek biola walaupun Djaga Depari tidak mempunyai pendidikan khusus di bidang musik. Dia mengandalkan biola dalam meramu not-not lagu karyanya.

Djaga depari menamatkan sekolah di HIS lanjutan pada tahun 1939. Pada masa ini Djaga Depari dihadapkan pada sebuah pilihan yang sulit. Pilihan tersebut adalah tetap melanjutkan sekolah atau menekuni dunia musik. Kedua pilihan tersebut samasama penting bagi Djaga Depari. Namun Djaga Depari harus tetap memilih salah satu di antaranya. Pada akhirnya setelah mempertimbangkan dengan cukup matang segala
konsekuensinya, Djaga Depari memutuskan untuk tidak melanjutkan sekolahnya. Djaga Depari dapat meluluhkan hati ayahnya, Ngembar Depari yang menginginkan Djaga Depari tetap melanjutkan sekolah. Namun, supaya tidak terlalu mengcewakan hati Ngembar Depari, maka Djaga Depari mengikuti kursus bahasa Inggris, kursus mengetik dan kursus di bidang administrasi.

Di sela-sela kesibukan kursus ini, Djaga Depari bersama teman-temannya membentuk suatu grup musik yang diberi nama “Orkes Melati Putih”. Di grup ini Djaga Depari memegang jabatan sebagai pemain biola. Grup ini langsung popular di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah di Medan saat itu. Grup ini sering diundang untuk mengisi acara pesta perkawinan, sunatan dan lain-lain.

Pada tahun 1942, dengan berbekal ijasah yang didapat Djaga Depari dari kursus bahasa Inggris dan bahasa Belanda, Kesultanan Deli Serdang mengajak Djaga Depari untuk bekerja di kantor Wakil Kesultanan Deli Serdang di desa Bangun Purba. Djaga Depari bekerja sebagai pegawai atau pada saat itu disebut Valunteer dengan gaji bersih sebesar 15 gulden setiap bulan. Gaji ini merupakan gaji yang di atas rata-rata bagi seorang yang minim pengalaman kerja pada saat itu.

Pada tahun 1943 atau tepatnya pada usia 21 tahun Djaga Depari menikah. Djendam br Pandia adalah impal Djaga Depari yang akhirnya dinikahi beliau yang mana impal beliau adalah pamannya yang bekerja sebagai petani yang bernama Dokan Pandia. Dari pernikahan ini Djaga Depari dan istrinya dikaruniai tujuh orang anak (empat laki-laki dan tiga perempuan).

Berikut adalah nama-nama dari putra-putri Djaga Depari :
  1. Sadarman Depari, lahir Seberaya, 11 Desember 1944
  2. Sutrisno Depari, lahir Seberaya, November 1946
  3. Maya Rita br Depari, lahir Seberaya, 4 Mei 1953
  4. Agustina br Depari, lahir Seberaya, 17 Agustus 1959
  5. Junita br Depari, lahir Kabanjahe, 17 Juni 1960
  6. Waktu Depari, lahir Kabanjahe, 10 Juni 1962
  7. Ngapuli Depari, lahir Kabanjahe, 17 Juni 1963
Ketujuh anak Djaga Depari tersebut telah berkeluarga. Dari hasil perkawinan anak-anaknya ini, Djaga Depari memiliki menantu dan 18 orang cucu. 
Berikut keterangan mengenai menantu dan cucu-cucu Djaga Depari tersebut: 
1. Anak pertama, Sadarman Depari menikah dengan Kartini br Lubis, seorang gadis yang berasal dari Kota Pinang, Labuhan Batu. Dari pasangan ini, Djaga Depari memperoleh empat orang cucu yaitu : Prima Depari, Rospita br Depari, Irma br Depari dan Juli br Depari.

2. Anak kedua, Sutirisno Depari menikah dengan Mulianna br Kaban, seorang gadis yang berasal dari Desa Pernantin Kecamatan Juhar. Dari pasangan ini, Djaga Depari memperoleh dua orang cucu yaitu : Juliaman Depari dan Fitrianai br Depari.

3. Anak ketiga, Maya Rita br Depari menikah dengan Sopan Sinuhaji, seorang pemuda yang berasal dari Desa Aji Jahe. Dari pasangan ini, Djaga Depari memperoleh empat orang cucu yaitu : Aswin Sinuhaji, Amri Sinuhaji, Irsan Sinuhaji, dan Andri Yosi Sinuhaji.

4. Anak keempat, Agustina br Depari menikah dengan Ali Asri Tarigan. Dari pasangan ini Djaga Depari memperoleh tiga orang cucu yaitu : Iwan Iqbal Tarigan, Faisal Tarigan, dan Al-Aini br Tarigan. Bakat seni Djaga Depari mengalir pada putrinya yang keempat ini. Agustina adalah generasi kedua yang meneruskan bakat seni Djaga Depari dengan mendirikan Sanggar Gerga Piso Surit. Sanggar ini sudah sering juga mengisi acara kebudayaan di Ibu Kota Jakarta.

5. Anak kelima, Juanita br Depari menikah dengan Zul Afnan Tarigan, seorang pemuda yang berasal dari desa Sukadame. Dari pasangan ini Djaga Depari memperoleh satu orang cucu yaitu : Sri Rezeki Emia br Tarigan.

6. Anak keenam, Waktu Depari menikah dengan Ratna br Kaban, seoarang gadis yang berasal dari Desa Pernantin. Dari pasangan ini Djaga Depari memperoleh dua orang cucu yaitu : Sry Wahyuni br Depari dan Arih Salsalina br Depari.

7. Anak Ketujuh, Ngapuli Depari yang lahir tepat satu bulan sebelum Djaga Depari meninggal, menikah dengan Lusianna br Ginting yang berasal dari Desa Bunga Baru. Dari pasangan ini Djaga Depari memperoleh dua orang cucu yaitu Irfansyah Putra Depari dan Eidika Depari.

Djaga Depari hidup di tiga jaman yaitu jaman penjajahan Belanda, penjajahan Jepang dan jaman Indonesia merdeka. Di tiga jaman ini Djaga Depari terus menggeluti dunia musik, mencipta lagu dan bermain dalam panggung-panggung sandiwara sampai akhirnya Djaga Depari menghadap Sang Pencipta.

Pada tanggal 15 Juli 1963, sekitar pukul 3 dini hari, Djaga Depari meninggal dunia. Djaga Depari Dimakamkan di tempat kelahirannya yaitu Desa Seberaya Kecamatan Tiga Panah Kabupaten Karo.

Untuk mengabdikan perjuang dan pengabdian Djaga Depari, beberapa tokoh masyarakat Karo di Medan membangun suatu tugu atau monumen Djaga Depari di pintu masuk kota Medan dari arah Tanah Karo tepatnya di persimpangan jalan Iskandar Muda Medan. Gagasan ini awalnya dicetuskan oleh Drs. Nabari Ginting, Drs. Ngasil Ginting dan Drs. Mulia Bangun pada awal Januari 1997, di perladangan milik Ngasil Ginting di daerah Pancur Batu Medan. Kemudian gagasan ini disampaikan ke beberapa tokoh masyrakat Karo kota Medan dan Sumatera Utara. Selanjutnya dibentuklah suatu badan panitia pembangunan yang diketuai oleh Drs. Nabari Ginting, dibantu oleh Drs. Mulia bangun, Drs. Benyamin Tarigan, Tuahta Perangin-angin dan Drs. Lesman Sembiring. Panitia pembangunan ini kemudian bekerjasama dengan Lembaga Permusyawaratan Kebudayaan Karo (LPKK) Sumatera Utara yang waktu itu diketuai oleh Drs. Perdamen
Perangin-angin serta sekretaris umum Ir. Kata Ersada Ketaren. Walikota Medan saat itu H. Bahctiar Djafar menyambut baik rencana tersebut. Kemudian panitia pembangunan menunjuk seorang seniman, Arry Darma sebagai orang yang mendesain atau merancang Monumen Djaga Depari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar