Daerah yang di temukan oleh marga Tarigan tersebut sangat subur dan berada di kaki bukit-bukit yang memiliki hutan dan aliran sungai yang cukup mengairi seluruh daerah tersebut. kelompok marga Tarigan yang datang pertama kali ke daerah tersebut kemudian mulai merambah hutan dan membangun tempat tinggal yang berada tepat di tengah-tengah dataran rendah tersebut. Setelah itu jalan-jalan setapak kemudian di buka kesegala arah untuk memudahkan perjalanan sambil mencari lahan yang cocok untuk pertanian. Daerah tersebut pertama kali di huni oleh marga Tarigan, akan tetapi belum ada sebutan untuk menamai tempat yang baru tersebut. Karena masih jarang penduduknya dan belum di kelola. Akan tetapi setelah daerah ini di diami, secara tidak langsung daerah tersebut kemudian terhubung kedaerah-daerah lain bahkan sebagai daerah lintasan yang menghubungkan daerah yang satu kedaerah yang lainnya.
Seperti daerah-daerah lainnya, daerah yang di kelola merga Tarigan tersebut mempunyai kekayaan alam yang jarang ditemukan di daerah lain, termasuk daerah-daerah sekitarnya yaitu hutannya yang lebat. Hutan tersebut rata-rata di tumbuhi oleh pohon yang sangat besar. Karena besarnya masyarakat dahulu menamai pohon tersebut dengan nama Pohon Juhar. Di sebut sebagai Pohon Juhar karena ciri fisik pohon tersebut
sangat besar, lebat dan batangnya tegak lurus serta tidak memiliki buah. Pada saat merambah hutan, masyarakat memanfaatkan Pohon Juhar sebagai tempat berteduh dan jika di gunakan, batang Pohon Juhar dapat di jadikan sebagai papan yang memiliki kualitas yang tahan lama.
Ketika merambah hutan semakin kedalam, merga Tarigan menemukan sebatang Pohon Juhar yang sangat rimbun serta batang pohon tersebut lebih besar dibandingkan dengan pohon Juhar yang lainnya, dengan demikian posisi ditemukannya pohon tersebut diyakini merupakan pusat dari dataran rendah yang akan mereka huni. Merga Tarigan yang mulai membangun pemukiman, kemudian mendirikan tempat tinggal di sekitar serta mengahadap pohon tersebut, dengan tujuan supaya lebih mudah untuk menemukan jalan ketika bepergian dalam merambah hutan.
Setelah daerah tersebut sudah mulai terbuka, maka kelompok merga Tarigan yang bermukim di daerah tersebut secara perlahan mulai melakukan interaksi dengan daerah lain, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang di perlukan. Pada masa itu masyarakat masih menggunakan sistem barter yang berupa hasil-hasil kekayaan alam antar kelompok masyarakat.
Lama kelamaan keadaan tersebut semakin sering di lakukan. Dan tempat persinggahan serta pertemuan beberapa klompok masyarakat, selalu berada di bawah pohon Juhar yang besar tersebut. Orang-orang yang melintas kedaerah lain dan selalu berteduh di bawah pohon Juhar tersebut, sehingga lama-kelamaan istilah Juhar sering digunakan orang untuk mengatakan daerah yang didiami oleh merga Tarigan tersebut.
Gelombang kedatangan kelompok merga Tarigan juga banyak datang dari daerah lainnya untuk bermukim di daerah Juhar, sehingga keadaan masyarakat di sekitar pohon tersebut semakin bertambah banyak dan berkembang sehingga terbentuklah sebuah desa. Meski masih tergolong sepi, desa tersebut sudah mulai di kenal orang dari daerah lainnya. Baik melalui interaksi sosial maupun dari cerita orang-orang yang pernah
melewati daerah tersebut.
Pada saat merga Tarigan mulai menetap di daerah itu, secara arsitektural mereka membagun rumah komunal untuk ditempati bersama sesuai adat dan tradisi merga Karo yang telah lama mereka warisi dari daerah asal dan nenek moyang mereka. Dalam tradisi masyarakat Karo, rumah komunal yang akan di diami disebut dengan rumah Siwaluh Jabu. Kemudian dengan melakukan sebuah ritual adat maka diperlukan adanya peranan “dukun” yang dipercayakan untuk mencari “Tapak” (lokasi) membangun sebuah rumah.
Ritual ini dilakukan untuk menentukan letak rumah-rumah yang akan di tempati supaya memberikan kenyamanan bagi yang menempati. Disamping itu, secara tidak langsung menentukan bentuk tata ruang desa untuk kedepannya. Setelah dukun yang dipercaya tersebut menentukan lokasi yang akan dibangun, kemudian seorang anak gadis dari keluarga orang yang dianggap berpengaruh pada saat itu bagi klan merga Tarigan dipilih oleh dukun. setelah sang gadis dipilih, sang dukun memberi tugas kepada anak gadis tersebut untuk memilih sebatang pohon juhar yang ada untuk ditebang, hal ini dilakukan karena pada saat itu dukun akan mendengarkan serta melihat suara serta cara-cara tumbangnya pohon tersebut. Tujuannya adalah agar penghuni alam semesta memberikan restu melalui pohon tersebut untuk membawa berkah bagi rumah siwaluh jabu yang akan didirikan melalui pohon juhar yang telah dipilih.
Setelah keluarga-keluarga yang akan menjadi penghuni rumah siwaluh jabu melakukan pembicaraan, maka ditentukanlah hari yang tepat untuk melanjutkan penebangan kayu sesuai dengan petunjuk sang dukun. Dalam bahasa tradisional Karo pembicaraan ini disebut dengan istilah Ngempak dan untuk mencari kayu disebut dengan istilah Ngerintak kayu. Dengan membagikan sirih sebagai bentuk undangan terhadap penduduk yang ikut membantu, kemudian masyarakat bergotong-royong mengangkat kayu yang telah di
potong untuk diangkut sampe kepada lokasi yang telah di tentukan sebelumnya. Setelah itu para calon penghuni rumah melakukan acara makan bersama dengan penduduk kampung di lokasi tersebut.
Selain itu merga Tarigan yang ingin menempati siwaluh jabu tersebut, kemudian melakukan Pebelit-beliten17 dengan ahli pemahat kayu dan juga ahli bangunan dengan menghadirkan sangkep si telu dari pihak keluarga merga Tarigan. Setelah perjanjian diadakan maka rumah siwaluh Jabu mulai dibangun. Dukun yang di percaya tersebut kemudian mulai memahat sebuah kayu yang dipilih untuk dilubangi. Selanjutnya, di
lakukan oleh semua anggota keluarga, setelah semua itu kemudian para ahli tukang membangun rumah siwaluh jabu sesuai dengan yang disepakati bersama. Setelah berdirinya rumah siwaluh jabu yang pertama, desa Juhar tersebut kemudian semakin ramai ditempati oleh masyarakat dengan membangun rumah si waluh jabu yang mengikuti arah siwaluh jabu yang pertama. Dari penjelasan para penetua merga Tarigan, rumah siwaluh jabu pertama tersebut berdiri pada tahun 1870 ketika desa Juhar sudah mulai ramai penduduknya.
Akan tetapi, desa Juhar terbentuk tidak terlepas dari kedatangan merga-merga lain selain dari merga Tarigan. Klan merga yang ikut membangun desa Juhar diantaranya adalah merga Peranginangin, yang datang pada tahun 1800-an, kemudian di susul olehmerga Ginting yang datang dalam kurun waktu yang hampir bersamaan dengan merga Peranginangin. Kelompok merga tersebut sebenarnya sudah ada ketika desa Juhar mulai ditempati, merga Tarigan sebagai pemuka kampung membawa anak berunya yang bermerga Ginting dan Peranginangin. Dari perkembangannya maka dapat diuraikan berdasarkan merga yang datang kemudian membangun klan merganya berdasarkan kelompok dari merga-merga yang ada di daerah desa Juhar.
Karena semain ramai dan berkembangnya masyarakat di desa Juhar, dari masing-masing klen merga melakukan sebuah kesepakatan dengan membagi-bagi tanah yang ada di desa Juhar. Sehingga para generasi yang datang berikutnya, ketika hendak mencari daerah bermukim, tinggal membangun rumahnya di lokasi tanah yang telah di sepakati berdasarkan klen merga tersebut. Hal ini lah yang menjadi keunikan tersendiri bagi desa Juhar karena mayoritas penduduknya hanya terdiri dari klan merga Tarigan, Ginting dan Peranginangin. Setiap merga tersebut memiliki lingkungan adat yaitu berupa pemukiman bersama. Sehingga bagi para pendatang yang akan bertempat tinggal di desa Juhar hanya mengikuti klan merga masing-masing dan menetap dilingkungan bersama. Bagi merga Tarigan, Peranginangin dan Ginting yang ada di desa Juhar, menetapkan masing-masing bagaimana untuk memberi tanah termasuk menjual tanah sesuai dengan teritorial yang telah di sepakati.
Perkembangan desa Juhar dari segi penduduk cukup pesat. Karena di sebabkan oleh faktor kelahiran dan juga faktor pendatang yang menetap di desa Juhar. Seperti yang telah di bahas sebelumnya, Desa Juhar memiliki budaya yang masih di kembangkan berdasarkan tradisi-tradisi yang di warisi dari nenek moyang penduduk desa Juhar. Secara teritorial desa Juhar terbagi tiga berdasarkan kesepakatan pemuka merga-merga yang merupakan pendiri desa Juhar. Pembagian ini dilakukan agar tidak ada perselisihan yang bisa mengakibatkan konflik antar merga-merga yang ada di desa Juhar. Perselisihan yang dimaksudkan merupakan masalah tanah yang akan digarap, masalah ini dapat dihindarkan dengan cara membagi lahan yang ada sesuai dengan adat yang berlaku dan juga kesepakatan yang telah dibuat. kesepakatan ini berlaku hingga kegenerasi seterusnya yang menetap didesa Juhar.
Desa Juhar terbagi atas tiga subwilayah yaitu juhar Tarigan, juhar Peranginangin dan juhar Ginting. Juhar Tarigan merupakan daerah yang mayoritas penduduknya merupakan merga Tarigan dan anak berunya, kemudian di susul dengan merga Peranginangin yang kemudian menetap di desa Juhar dan yang terakhir disusul oleh merga Ginting yang juga mendapatkan wilayah untuk bermukim di desa Juhar.
Dari kondisi tersebut bisa dikatakan Desa Juhar merupakan daerah yang mempunyai subwilayah yang di bagi berdasarkan sistem adat yang berlaku. Dalam pemerintahannya, secara langsung merga-merga tersebut mengangkat pemimpin-pemimpin adat mereka, pemimpin-pemipin tersebut biasa disebut dengan kampung/kepala Desa (setelah kemerdakaan Republik indonesia).
Juhar Peranginangin terbentuk karena klan merga tersebut sudah lama bermukim di daerah Juhar. Termasuk juga sebagai merga yang ikut membuka daerah Juhar bersama dengan klan merga Tarigan. Merga Peranginangin datang ke daerah Juhar di perkirankan sekitar Tahun 1800-an dan sudah memiliki beberapa generasi di daerah Juhar.
Juhar Peranginangin ini membawa anak berunya dan membangun pemukimannya
di lahan yang termasuk cukup luas. Masyarakat Juhar Peranginangin memiliki sistem adat tersendiri sesuai dengan adat yang telah turun temurun. Dari kehidupan sehari-hari masyarakat Juhar Peranginangin merupakan petani sama seperti masyarakat daerah Juhar lainnya.
Dalam segi pemerintahannya Juhar Peranginangin, pada saat pemerintahan Kolonial Belanda tidak ada tercatat apakah pernah ada yang menjadi Raja Urung dari klan merga Peranginangin untuk memerintah di desa Juhar. Akan tetapi sejak kemerdekaan Indonesia, Juhar Peranginangin memiliki pemerintahan desa yang sama dengan desa Juhar lainnya, hal ini dapat dilihat dari nama-nama yang pernah menjabat sebagai kepala desa/Kampung yaitu:
Kopon Pinem, sebagai kepala kampung Tahun 1969-1978.
Sudin Pinem, sebagai Kepala kampung Tahun 1978-1980.
Juhar Ginting dibangun pada sekitar tahun 1800-an juga sama seperti dengan Juhar Peranginangin yang telah memiliki generasi di desa Juhar. Juhar Ginting merupakan daerah teritorial adat yang terakhir di desa Juhar berdasarkan yang telah di sepakati oleh para pendahulu yang membuka daerah Juhar hingga menjadi sebuah desa.
Dari keseluruhan masyarakat yang ada di Juhar Ginting, disamping bertani masyarakatnya juga memiliki lahan sawah yang cukup luas sehingga menjadi lumbung Padi bagi masyarakat Juhar. Karena Juhar Ginting dialiri oleh sebuah sungai kecil yang berasal dari pegunungan sehingga menjadi sumber irigasi bagi pertanian masyarakat Juhar Ginting.
Dari pemerintahan yang ada, sejak Kemerdekaan Indonesia yang pernah menjabat sebagai kepala desa ataupun kepala kampung di Juhar Ginting, tercatat beberapa nama yaitu :
Pengarapen Ginting : 1945-1969
Ngusih Ginting : 1969-1991
Disamping itu, Juhar Ginting memiliki sistema adat tersendiri sebagai ciri khas yang telah diwarisi dari nenek moyang mereka. Juhar Ginting juga menjadi salah satu yang mampu membangun desa Juhar dengan keberadaannya di desa Juhar. Dengan perkembagan tersebut, Juhar Ginting juga terbagi dalam beberapa wilayah yaitu :
Setelah di umumkannya Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta, rakyat Karo tidak ketinggalan untuk menyambut kemerdekaan dan bedirinya sebuah negara bagi bangsanya itu. Merah-Putih yang menjadi bangsa dan negara yang baru merdeka itu segera berkibar di deluruh Tanah Karo. Dalam salah satu rapatnya pimpinan BPI (Barisan Pemuda Indonesia) Cabang tanah Karo memutuskan mengeluarkan surat edaran mengenai pengibaran bendera nasional Sang Saka Merah Putih setiap hari. Surat edaran itu kemudian disebarluaskan oleh pemerintah daerah sampai ke pedesaan di seluruh tanah Karo.
Akan tetapi sangat menarik bagaimana bedera itu dapat segera berkibar di seluruh tanah Karo. Cukup mengherankan dari mana kain Putih dan merah demikian banyaknya dapat diperoleh. Karena kain termasuk salah satu bahan keperluan hidup yang paling sulit di peroleh selama pendudukan tentara Jepang. Tidak jarang orang menggunakan kain dari goni, malah karet, menjadi bahan pakaian. Begitu diperlukan kain untuk bendera kelihatannya seperti tidak ada kesulitan.
Selain pembentukan BPI dan pengibaran bendera, disusun pula pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan sebuah negara merdeka. Sebelum menyerahnya Jepang diketahui dengan pasti dan resmi kepala pemerintahan pendudukan Jepang untuk tanah Karo, Gunseibu, telah menunjuk Ngerajai Meliala, raja urung sarinembah, sebagai Kepala Pemerintahan Tanah Karo.
Ngerajai Meliala seorang turunan bangsawan Karo yang memperoleh pendidikan kepamongprajaan dari MOSVIA Bandung. Jabatan sebagai kepala pemerintahan itu terus berlanjut hingga awal pemerintahan Republik Indonesia. Dalam melakukan tugasnya sebagai Kepala Pemerintahan Republik dia dibantu oleh Nganah Tarigan, A Sutan Soaloon, Tambaten Brahmana, dan Mbamba Bangun sebagai sekertaris.
Pembenahan berupa penyesuaian pemerintahan dengan tuntutan demokrasi tidak hanya berlangsung pada tingkat onderafdeling atau, yang sejak kemerdekaan menjadi, Kabupaten. Pembaharuan dan penyesuaian sampai ketingkat pemerintahan desa (kuta). Para pengulu diberhentikan dan digantikan oleh pejabat yang baru sesuai hasil pemilihan penduduk desa. Pada umunya tidak ada pengulu yang terpilih menjadi kepala kampung Republik Indonesia. Para tokoh masyarakat menggantikan pengulu sebagai pemegang pemerintahan di pedesaan.
Demikian pula halnya pada tingkat di atas desa. Urung yang tadinya tingkat satuan daerah dan pemerintahan di atas desa mula-mula di ubah menjadi luhak dan kedudukan raja urung Sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh kepala luhak. Ada 17 luhak pada waktu itu, yaitu luhak-luhak:
Kecamatan Kabanjahe dikepalai oleh Camat Nahar Purba
Tigapanah dikepalai oleh Camat Jamin Karo Sekali
Barusjahe dikepalai Camat Matang Sitepu
Simpang Empat dikepalai Camat Kendal Keliat
Kecamatan Tigabinanga dikepalai oleh Camat Molai Sebayang
Kecamatan Juhar dikepalai oleh Pulung Tarigan
Kecamatan Munte dikepalai oleh camat Ngembar Meliala
Kecamatan Kutabuluh dikepalai camat Masa Sinulingga
Kecamatan Mardinding dikepalai oleh Camat Nuriken Ginting
Kecamatan Pancur Batu dikepalai oleh Camat Usman Deli
Kecamatan Sibolangit dikepalai oleh Camat Dame Gurusinga
Kecamatan kutalimbaru dikepalai oleh Camat Kelang Sinulingga
Kecamatan Sibiru-biru dikepalai oleh Camat Selamat Tarigan
Kecamatan Namorambe dikepalai oleh Camat Jafar Ketaren
Pada Tahun 1945 utusan dari Pulung Tarigan tiba ke desa Juhar untuk mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk menyambut kedatangan utusan tersebut, maka 3 pengulu desa Juhar melakukan musyawarah untuk mengumpulkan masyarakat di Balai yang ada di Juhar Tarigan. Setelah berkumpul, surat dari pemerintahan dari kewedanaan Tigabinanga yang berisi tentang pembenahan kecamatan Juhar.
Kabar kemerdekaan tersebut di sambut dengan gembira oleh masyarkat Juhar. Setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan tersebut, desa Juhar kemudian diangkat menjadi ibu kota Kecamatan Juhar. Adapun desa-desa yang tergabung dengan desa Juhar pada saat pembentukan kecamatan Juhar adalah: Desa Namosuro, Jandi, Naga, Ketawaren, Lau Kidupen, Lau Lingga, Pernantin, Bekilang, Buluh Pancur, Kidupen, Pasar Baru, Mbetung, Gunung Juhar, Segenderang, Batu Mamak, Nageri, Sugihen, Sukababo, Kuta Gugung, Keriahan dan Kuta Mbelin.
Sebagai bentuk kesediaan masyarakat Juhar mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, dalam pembenahan kantor-kantor yang dibutuhkan untuk Pemerintahan membuat masyarakat Juhar dengan menyediakan lahan sebagai tempat dibangunnya kantor-kantor pemerintahan. Juhar Peranginangin merupakan perwakilan Desa Juhar dengan memberikan lahan secara cuma-cuma untuk tempat mendirikan Kantor camat, kantor Polisi dan Militer. Sehingga dimulailah pemerintahan Republik Indonesia di desa
Juhar sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar.
Seperti daerah-daerah lainnya, daerah yang di kelola merga Tarigan tersebut mempunyai kekayaan alam yang jarang ditemukan di daerah lain, termasuk daerah-daerah sekitarnya yaitu hutannya yang lebat. Hutan tersebut rata-rata di tumbuhi oleh pohon yang sangat besar. Karena besarnya masyarakat dahulu menamai pohon tersebut dengan nama Pohon Juhar. Di sebut sebagai Pohon Juhar karena ciri fisik pohon tersebut
sangat besar, lebat dan batangnya tegak lurus serta tidak memiliki buah. Pada saat merambah hutan, masyarakat memanfaatkan Pohon Juhar sebagai tempat berteduh dan jika di gunakan, batang Pohon Juhar dapat di jadikan sebagai papan yang memiliki kualitas yang tahan lama.
Ketika merambah hutan semakin kedalam, merga Tarigan menemukan sebatang Pohon Juhar yang sangat rimbun serta batang pohon tersebut lebih besar dibandingkan dengan pohon Juhar yang lainnya, dengan demikian posisi ditemukannya pohon tersebut diyakini merupakan pusat dari dataran rendah yang akan mereka huni. Merga Tarigan yang mulai membangun pemukiman, kemudian mendirikan tempat tinggal di sekitar serta mengahadap pohon tersebut, dengan tujuan supaya lebih mudah untuk menemukan jalan ketika bepergian dalam merambah hutan.
Setelah daerah tersebut sudah mulai terbuka, maka kelompok merga Tarigan yang bermukim di daerah tersebut secara perlahan mulai melakukan interaksi dengan daerah lain, dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang di perlukan. Pada masa itu masyarakat masih menggunakan sistem barter yang berupa hasil-hasil kekayaan alam antar kelompok masyarakat.
Lama kelamaan keadaan tersebut semakin sering di lakukan. Dan tempat persinggahan serta pertemuan beberapa klompok masyarakat, selalu berada di bawah pohon Juhar yang besar tersebut. Orang-orang yang melintas kedaerah lain dan selalu berteduh di bawah pohon Juhar tersebut, sehingga lama-kelamaan istilah Juhar sering digunakan orang untuk mengatakan daerah yang didiami oleh merga Tarigan tersebut.
Gelombang kedatangan kelompok merga Tarigan juga banyak datang dari daerah lainnya untuk bermukim di daerah Juhar, sehingga keadaan masyarakat di sekitar pohon tersebut semakin bertambah banyak dan berkembang sehingga terbentuklah sebuah desa. Meski masih tergolong sepi, desa tersebut sudah mulai di kenal orang dari daerah lainnya. Baik melalui interaksi sosial maupun dari cerita orang-orang yang pernah
melewati daerah tersebut.
Pada saat merga Tarigan mulai menetap di daerah itu, secara arsitektural mereka membagun rumah komunal untuk ditempati bersama sesuai adat dan tradisi merga Karo yang telah lama mereka warisi dari daerah asal dan nenek moyang mereka. Dalam tradisi masyarakat Karo, rumah komunal yang akan di diami disebut dengan rumah Siwaluh Jabu. Kemudian dengan melakukan sebuah ritual adat maka diperlukan adanya peranan “dukun” yang dipercayakan untuk mencari “Tapak” (lokasi) membangun sebuah rumah.
Ritual ini dilakukan untuk menentukan letak rumah-rumah yang akan di tempati supaya memberikan kenyamanan bagi yang menempati. Disamping itu, secara tidak langsung menentukan bentuk tata ruang desa untuk kedepannya. Setelah dukun yang dipercaya tersebut menentukan lokasi yang akan dibangun, kemudian seorang anak gadis dari keluarga orang yang dianggap berpengaruh pada saat itu bagi klan merga Tarigan dipilih oleh dukun. setelah sang gadis dipilih, sang dukun memberi tugas kepada anak gadis tersebut untuk memilih sebatang pohon juhar yang ada untuk ditebang, hal ini dilakukan karena pada saat itu dukun akan mendengarkan serta melihat suara serta cara-cara tumbangnya pohon tersebut. Tujuannya adalah agar penghuni alam semesta memberikan restu melalui pohon tersebut untuk membawa berkah bagi rumah siwaluh jabu yang akan didirikan melalui pohon juhar yang telah dipilih.
Setelah keluarga-keluarga yang akan menjadi penghuni rumah siwaluh jabu melakukan pembicaraan, maka ditentukanlah hari yang tepat untuk melanjutkan penebangan kayu sesuai dengan petunjuk sang dukun. Dalam bahasa tradisional Karo pembicaraan ini disebut dengan istilah Ngempak dan untuk mencari kayu disebut dengan istilah Ngerintak kayu. Dengan membagikan sirih sebagai bentuk undangan terhadap penduduk yang ikut membantu, kemudian masyarakat bergotong-royong mengangkat kayu yang telah di
potong untuk diangkut sampe kepada lokasi yang telah di tentukan sebelumnya. Setelah itu para calon penghuni rumah melakukan acara makan bersama dengan penduduk kampung di lokasi tersebut.
Selain itu merga Tarigan yang ingin menempati siwaluh jabu tersebut, kemudian melakukan Pebelit-beliten17 dengan ahli pemahat kayu dan juga ahli bangunan dengan menghadirkan sangkep si telu dari pihak keluarga merga Tarigan. Setelah perjanjian diadakan maka rumah siwaluh Jabu mulai dibangun. Dukun yang di percaya tersebut kemudian mulai memahat sebuah kayu yang dipilih untuk dilubangi. Selanjutnya, di
lakukan oleh semua anggota keluarga, setelah semua itu kemudian para ahli tukang membangun rumah siwaluh jabu sesuai dengan yang disepakati bersama. Setelah berdirinya rumah siwaluh jabu yang pertama, desa Juhar tersebut kemudian semakin ramai ditempati oleh masyarakat dengan membangun rumah si waluh jabu yang mengikuti arah siwaluh jabu yang pertama. Dari penjelasan para penetua merga Tarigan, rumah siwaluh jabu pertama tersebut berdiri pada tahun 1870 ketika desa Juhar sudah mulai ramai penduduknya.
Akan tetapi, desa Juhar terbentuk tidak terlepas dari kedatangan merga-merga lain selain dari merga Tarigan. Klan merga yang ikut membangun desa Juhar diantaranya adalah merga Peranginangin, yang datang pada tahun 1800-an, kemudian di susul olehmerga Ginting yang datang dalam kurun waktu yang hampir bersamaan dengan merga Peranginangin. Kelompok merga tersebut sebenarnya sudah ada ketika desa Juhar mulai ditempati, merga Tarigan sebagai pemuka kampung membawa anak berunya yang bermerga Ginting dan Peranginangin. Dari perkembangannya maka dapat diuraikan berdasarkan merga yang datang kemudian membangun klan merganya berdasarkan kelompok dari merga-merga yang ada di daerah desa Juhar.
Karena semain ramai dan berkembangnya masyarakat di desa Juhar, dari masing-masing klen merga melakukan sebuah kesepakatan dengan membagi-bagi tanah yang ada di desa Juhar. Sehingga para generasi yang datang berikutnya, ketika hendak mencari daerah bermukim, tinggal membangun rumahnya di lokasi tanah yang telah di sepakati berdasarkan klen merga tersebut. Hal ini lah yang menjadi keunikan tersendiri bagi desa Juhar karena mayoritas penduduknya hanya terdiri dari klan merga Tarigan, Ginting dan Peranginangin. Setiap merga tersebut memiliki lingkungan adat yaitu berupa pemukiman bersama. Sehingga bagi para pendatang yang akan bertempat tinggal di desa Juhar hanya mengikuti klan merga masing-masing dan menetap dilingkungan bersama. Bagi merga Tarigan, Peranginangin dan Ginting yang ada di desa Juhar, menetapkan masing-masing bagaimana untuk memberi tanah termasuk menjual tanah sesuai dengan teritorial yang telah di sepakati.
Juhar Tarigan, Juhar Peranginangin dan Juhar Ginting
Perkembangan desa Juhar dari segi penduduk cukup pesat. Karena di sebabkan oleh faktor kelahiran dan juga faktor pendatang yang menetap di desa Juhar. Seperti yang telah di bahas sebelumnya, Desa Juhar memiliki budaya yang masih di kembangkan berdasarkan tradisi-tradisi yang di warisi dari nenek moyang penduduk desa Juhar. Secara teritorial desa Juhar terbagi tiga berdasarkan kesepakatan pemuka merga-merga yang merupakan pendiri desa Juhar. Pembagian ini dilakukan agar tidak ada perselisihan yang bisa mengakibatkan konflik antar merga-merga yang ada di desa Juhar. Perselisihan yang dimaksudkan merupakan masalah tanah yang akan digarap, masalah ini dapat dihindarkan dengan cara membagi lahan yang ada sesuai dengan adat yang berlaku dan juga kesepakatan yang telah dibuat. kesepakatan ini berlaku hingga kegenerasi seterusnya yang menetap didesa Juhar.
Desa Juhar terbagi atas tiga subwilayah yaitu juhar Tarigan, juhar Peranginangin dan juhar Ginting. Juhar Tarigan merupakan daerah yang mayoritas penduduknya merupakan merga Tarigan dan anak berunya, kemudian di susul dengan merga Peranginangin yang kemudian menetap di desa Juhar dan yang terakhir disusul oleh merga Ginting yang juga mendapatkan wilayah untuk bermukim di desa Juhar.
Dari kondisi tersebut bisa dikatakan Desa Juhar merupakan daerah yang mempunyai subwilayah yang di bagi berdasarkan sistem adat yang berlaku. Dalam pemerintahannya, secara langsung merga-merga tersebut mengangkat pemimpin-pemimpin adat mereka, pemimpin-pemipin tersebut biasa disebut dengan kampung/kepala Desa (setelah kemerdakaan Republik indonesia).
- JUHAR TARIGAN
Juhar Tarigan merupakan daerah yang mayoritas penduduknya merupakan klan merga Tarigan, daerah ini merupakan cikal bakal lahirnya desa Juhar secara keseluruhan. Juhar Tarigan diperkirakan berdiri ada pada Tahun 1700-an akan tetapi perkembangannya masih sangat lambat karena akses menuju desa Juhar pada waktu itu sangat susah, disebabkan karena masih terdiri dari hutan belukar, kemudian pada tahun 1800-an mulai ramai karena kedatangan dari daerah-daerah lainnya yang telah mulai mengetahui letak desa Juhar.
Juhar Tarigan ini mempunyai luas wilayah sekitar 962 Hektar, yang daerahnya meliputi Bagian sebelah Utara desa Juhar. Di sebelah utaranya berbatasan dengan Juhar Ginting dan sebelah Barat dan selatan berbatasan dengan Juhar Peranginangin18. Daerah ini lah yang menjadi tempat berkumpulnya pemukiman merga Tarigan dengan membagi lahan-lahan tersebut secara turun-temurun untuk dikelola sebagai lahan pertanian dan juga sebagai tempat tinggal.
Hingga saat ini di perkirakan kelompok merga Tarigan yang bermukim di daerah Juhar Tarigan merupakan Generasi ketiga. Meski demikian, mayoritas dari masyarakat desa Juhar Tarigan masih memiliki ikatan sodara antara satu dengan yang lainnya, karena masyarakat desa Juhar Tarigan pada umumnya betah untuk tinggal di daerah juhar Tarigan dan hanya sedikit yang merantau kedaerah lainnya. Adapun yang merantau keluar daerah disebabkan karena adanya faktor Pendidikan yang sudah dikenal mulai dari jaman kemerdekaan.
Dari waktu yang cukup lama mendiami sebuah wilayah, klan merga Tarigan juga melakukan banyak hal untuk membangun daerah juhar Tarigan, dari pertanian hingga sektor ekonomi, masyarakat Juhar Tarigan secara perlahan-lahan mampu membangun daerahnya tersebut. Selain itu, salah satu bukti dari perkembangan masyarakat Juhar Tarigan adalah dengan membangun sebuah Balai sebagai simbol bagi masyarakat Juhar Tarigan.
Pada Tahun 1960 masyarakat Juhar Tarigan secara bergotong royong membangun sebuah balai khusus untuk masyarakat Juhar Tarigan. fungsi Balai tersebut antara lain, untuk tempat kayu bakar, untuk tempat musyawarah dan juga digunakan sebagai lumbung Padi. Balai tersebut berada di tengah-tengah Juhar Tarigan dan menghadap kejalan umum desa Juhar.
Balai tersebut di bangun pada saat Padiah Tarigan menjabat sebagai kepala desa untuk Juhar Tarigan. Balai tersebut di bangun tepat di mana pohon Juhar yang menjadi simbol desa Juhar berdiri. Setelah melakukan musyawarah dengan seluruh penduduk Juhar Tarigan maka, untuk membangun Balai tesebut bahan-bahannya diperoleh dari Pohon Juhar yang ada di tengah-tengah desa tersebut. Faktor lain yang menyebabkan pohon tersebut di tebang, karena sudah terlalu tua selain itu juga untuk mengantisipasi
ketika pohon Juhar tersebut roboh ataupun tumbang, karena akan menimpa rumah masyarkat yang ada di sekitar pohon Juhar tersebut.
Karena letak Pohon Juhar yang besar tersebut berada di wilayah Juhar Tarigan, maka yang berhak mengelola Pohon tersebut adalah merga Tarigan. Setelah semua penduduk Juhar Tarigan menyetujui batang pohon Juhar tersebut digunakan untuk mendirikan Balai, masyarakat Juhar Tarigan, memulai penebangan hingga Balai tersebut berdiri. Semuanya dilakukan secara bergotong royong oleh merga Tarigan.
Balai yang dibangun tersebut terdiri dari tiga lantai yang masing-masing lantai mempunyai fungsi. Adapun fungsi dari masing-masing lantai adalah :
Lantai pertama : Digunakan sebagai tempat penyimpanan kayu bakar.
Lantai kedua : Digunakan sebagai tempat musyawarah untuk masyarakat Juhar Tarigan
Lantai ketiga : Digunakan sebagai lumbung Padi.
Dengan adanya balai tersebut, maka sistem sosial yang diatur oleh adat membuat daerah Juhar Tarigan mempunyai perbedaan dengan daerah Juhar lainnya. Sejak berdirinya Juhar Tarigan tecatat beberapa nama yang menjadi pemerintah di daerah tersebut, mulai dari yang menjabat sebagai Raja Urung, kampung maupun kepala desa. Nama-nama yang pernah menjabat ketiga posisi diatas adalah sebagai berikut :
* Narum Tarigan, yang merupakan Raja Urung untuk desa Juhar pada waktu pemerintahan kolonial Pada Tahun 1920.
* Padiah Tarigan, Sebagai kepala Desa pada Tahun 1945-1969.
* Pa Jenda Ras Tarigan, menjabat kepala Desa pada Tahun 1960-1970.
* Kapalen Tarigan, menjabat sebagai Kepala Desa pada Tahun 1970-1978.
Dalam perkembangannya Juhar Tarigan terbagi juga menjadi tiga wilayah, yaitu Juhar Tarigan Sibayak, Juhar Tarigan Jambur Lateng dan Juhar Tarigan Rumah Jahe. Secara program keberadaan pemerintahan yang di terima masyarakat Juhar Tarigan tidak mempunyai pengaruh yang besar, keberadaan pemerintahan sejak
kemerdekaan hanya sebagai untuk kelengkapan administratif dari masyarakat Juhar Tarigan. Karena masih disesuaikan dengan adat yang berlaku bagi masyarakat Juhar Tarigan.
- JUHAR PERANGIN-ANGIN
Juhar Peranginangin merupakan teritorial adat dari merga Peranginangin yang ada di desa Juhar. Wilayah ini memiliki luas 952 hektar, dengan batas-batas wilayah sebagai beriktut :
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Mbetung.
Sebelah Selatan: Berbatasan dengan Juhar Tarigan, Desa Jandi.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Ginting.
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Desa Kidupen, Desa Jandi.
Juhar Peranginangin terbentuk karena klan merga tersebut sudah lama bermukim di daerah Juhar. Termasuk juga sebagai merga yang ikut membuka daerah Juhar bersama dengan klan merga Tarigan. Merga Peranginangin datang ke daerah Juhar di perkirankan sekitar Tahun 1800-an dan sudah memiliki beberapa generasi di daerah Juhar.
Juhar Peranginangin ini membawa anak berunya dan membangun pemukimannya
di lahan yang termasuk cukup luas. Masyarakat Juhar Peranginangin memiliki sistem adat tersendiri sesuai dengan adat yang telah turun temurun. Dari kehidupan sehari-hari masyarakat Juhar Peranginangin merupakan petani sama seperti masyarakat daerah Juhar lainnya.
Dalam segi pemerintahannya Juhar Peranginangin, pada saat pemerintahan Kolonial Belanda tidak ada tercatat apakah pernah ada yang menjadi Raja Urung dari klan merga Peranginangin untuk memerintah di desa Juhar. Akan tetapi sejak kemerdekaan Indonesia, Juhar Peranginangin memiliki pemerintahan desa yang sama dengan desa Juhar lainnya, hal ini dapat dilihat dari nama-nama yang pernah menjabat sebagai kepala desa/Kampung yaitu:
Kopon Pinem, sebagai kepala kampung Tahun 1969-1978.
Sudin Pinem, sebagai Kepala kampung Tahun 1978-1980.
- JUHAR GINTING
Juhar Ginting merupkan Daerah teritorial adat yang ketiga di desa Juhar, Juhar Ginting meiliki luas wilayah 1352 Hektar. Adapun batas-batas wilayah Juhar Ginting sebagai berikut:
Sebelah Utara : Berbatasan dengan Desa Gunung Juhar.
Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Juhar Tarigan.
Sebelah Timur : Berbatasan dengan Sigenderang.
Sebelah Barat : Berbatasan dengan Juhar Peranginangin.
Juhar Ginting dibangun pada sekitar tahun 1800-an juga sama seperti dengan Juhar Peranginangin yang telah memiliki generasi di desa Juhar. Juhar Ginting merupakan daerah teritorial adat yang terakhir di desa Juhar berdasarkan yang telah di sepakati oleh para pendahulu yang membuka daerah Juhar hingga menjadi sebuah desa.
Dari keseluruhan masyarakat yang ada di Juhar Ginting, disamping bertani masyarakatnya juga memiliki lahan sawah yang cukup luas sehingga menjadi lumbung Padi bagi masyarakat Juhar. Karena Juhar Ginting dialiri oleh sebuah sungai kecil yang berasal dari pegunungan sehingga menjadi sumber irigasi bagi pertanian masyarakat Juhar Ginting.
Dari pemerintahan yang ada, sejak Kemerdekaan Indonesia yang pernah menjabat sebagai kepala desa ataupun kepala kampung di Juhar Ginting, tercatat beberapa nama yaitu :
Pengarapen Ginting : 1945-1969
Ngusih Ginting : 1969-1991
Disamping itu, Juhar Ginting memiliki sistema adat tersendiri sebagai ciri khas yang telah diwarisi dari nenek moyang mereka. Juhar Ginting juga menjadi salah satu yang mampu membangun desa Juhar dengan keberadaannya di desa Juhar. Dengan perkembagan tersebut, Juhar Ginting juga terbagi dalam beberapa wilayah yaitu :
- Juhar Ginting Rumah Berneh
- Juhar Ginting Rumah Tanduk
- Juhar Ginting Rumah Gugung
- Juhar Ginting Sigerat Lembu
TERBENTUKNYA KECAMATAN JUHAR
Setelah di umumkannya Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno-Hatta, rakyat Karo tidak ketinggalan untuk menyambut kemerdekaan dan bedirinya sebuah negara bagi bangsanya itu. Merah-Putih yang menjadi bangsa dan negara yang baru merdeka itu segera berkibar di deluruh Tanah Karo. Dalam salah satu rapatnya pimpinan BPI (Barisan Pemuda Indonesia) Cabang tanah Karo memutuskan mengeluarkan surat edaran mengenai pengibaran bendera nasional Sang Saka Merah Putih setiap hari. Surat edaran itu kemudian disebarluaskan oleh pemerintah daerah sampai ke pedesaan di seluruh tanah Karo.
Akan tetapi sangat menarik bagaimana bedera itu dapat segera berkibar di seluruh tanah Karo. Cukup mengherankan dari mana kain Putih dan merah demikian banyaknya dapat diperoleh. Karena kain termasuk salah satu bahan keperluan hidup yang paling sulit di peroleh selama pendudukan tentara Jepang. Tidak jarang orang menggunakan kain dari goni, malah karet, menjadi bahan pakaian. Begitu diperlukan kain untuk bendera kelihatannya seperti tidak ada kesulitan.
Selain pembentukan BPI dan pengibaran bendera, disusun pula pemerintahan yang sesuai dengan tuntutan sebuah negara merdeka. Sebelum menyerahnya Jepang diketahui dengan pasti dan resmi kepala pemerintahan pendudukan Jepang untuk tanah Karo, Gunseibu, telah menunjuk Ngerajai Meliala, raja urung sarinembah, sebagai Kepala Pemerintahan Tanah Karo.
Ngerajai Meliala seorang turunan bangsawan Karo yang memperoleh pendidikan kepamongprajaan dari MOSVIA Bandung. Jabatan sebagai kepala pemerintahan itu terus berlanjut hingga awal pemerintahan Republik Indonesia. Dalam melakukan tugasnya sebagai Kepala Pemerintahan Republik dia dibantu oleh Nganah Tarigan, A Sutan Soaloon, Tambaten Brahmana, dan Mbamba Bangun sebagai sekertaris.
Pembenahan berupa penyesuaian pemerintahan dengan tuntutan demokrasi tidak hanya berlangsung pada tingkat onderafdeling atau, yang sejak kemerdekaan menjadi, Kabupaten. Pembaharuan dan penyesuaian sampai ketingkat pemerintahan desa (kuta). Para pengulu diberhentikan dan digantikan oleh pejabat yang baru sesuai hasil pemilihan penduduk desa. Pada umunya tidak ada pengulu yang terpilih menjadi kepala kampung Republik Indonesia. Para tokoh masyarakat menggantikan pengulu sebagai pemegang pemerintahan di pedesaan.
Demikian pula halnya pada tingkat di atas desa. Urung yang tadinya tingkat satuan daerah dan pemerintahan di atas desa mula-mula di ubah menjadi luhak dan kedudukan raja urung Sebagai kepala pemerintahan digantikan oleh kepala luhak. Ada 17 luhak pada waktu itu, yaitu luhak-luhak:
- Sepuluhdua Kuta (Kabanjahe) yang dikepalai oleh Nahar Purba
- Telu Kuru (Lingga) yang dikepalai oleh Rajangangkat Sinulingga
- Tiga Pancur dikepalai oleh Boncar Sembiring
- Si Empat Teran (Naman) dikepalai oleh Jeneng Ginting
- Lima Senina dikepalai oleh Nembah Bangun
- Tiganderket dikepalai oleh Kendal Keliat
- Namohaji dikepalai oleh Masa Sinulingga
- Liang Melas dikepalai oleh Nuuriken Ginting
- Perbesi dikepalai oleh Molai Sebayang
- Juhar dikepalai oleh Pulung Tarigan
- Sarinembah dikepalai oleh Ngembar Meliala
- Munte dikepalai oleh Sampang Ginting
- Barusjahe dikepalai oleh Matang Sitepu
- Sukanalu dikepalai oleh Babo Sitepu
- Ajinembah dikepalai oleh Janji Barus
- Sukapiring dikepalai oleh Negri Ginting
- Tengging dikepalai oleh Sukaraja Ginting
Tidak lama Ngerajai Meliala memegang kendali pemerintahan daerah itu oleh karena kemudian digantikan oleh seorang bupati yang diangkat setelah terpilih. Bupati yang mengepalai pemerintahan itu ialah Rakutta Sembiring, seorang keturunan pengulu (kepala desa) Limang dan sewaktu bersekolah di Medan telah berkecimpung dalam kegiatan yang berhubungan dengan pergerakan kebangsaan. Dia terpilih dalam sebuah
rapat umum yang diadakan digedung bioskop (Rex Bioskop) Kabanjahe. Dia dibantu oleh Rambio M.Aritonang sebagai Patih.
Selain pergantian kepala pemerintahan dari Ngerajai Meliala kepada Rakutta Sembiring, Pembagian wilayah pemerintahan juga mengalami perubahan disesuaikan dengan Wilayah Republik yang lain. Kabupaten karo yang mencakup Tanah Karo dan Deli Hulu terbagi dalam tiga kewedanaan, yaitu kewedanan Kabanjahe, yang dikepalai oleh wedana Netap Bukit, Kewedanaan Tigabinanga dikepalai wedana Tama Sebayang.
Kewedanaan Kabanjahe mencakup kecamatan:
Tigapanah dikepalai oleh Camat Jamin Karo Sekali
Barusjahe dikepalai Camat Matang Sitepu
Simpang Empat dikepalai Camat Kendal Keliat
Kewedanaan Tigabinanga membawahi:
Kecamatan Juhar dikepalai oleh Pulung Tarigan
Kecamatan Munte dikepalai oleh camat Ngembar Meliala
Kecamatan Kutabuluh dikepalai camat Masa Sinulingga
Kecamatan Mardinding dikepalai oleh Camat Nuriken Ginting
Kewedanan Deli Hulu (Karo Jahe, Pancur Batu) terdiri dari:
Kecamatan Sibolangit dikepalai oleh Camat Dame Gurusinga
Kecamatan kutalimbaru dikepalai oleh Camat Kelang Sinulingga
Kecamatan Sibiru-biru dikepalai oleh Camat Selamat Tarigan
Kecamatan Namorambe dikepalai oleh Camat Jafar Ketaren
Pada Tahun 1945 utusan dari Pulung Tarigan tiba ke desa Juhar untuk mengumumkan kemerdekaan Republik Indonesia. Untuk menyambut kedatangan utusan tersebut, maka 3 pengulu desa Juhar melakukan musyawarah untuk mengumpulkan masyarakat di Balai yang ada di Juhar Tarigan. Setelah berkumpul, surat dari pemerintahan dari kewedanaan Tigabinanga yang berisi tentang pembenahan kecamatan Juhar.
Kabar kemerdekaan tersebut di sambut dengan gembira oleh masyarkat Juhar. Setelah pembacaan proklamasi kemerdekaan tersebut, desa Juhar kemudian diangkat menjadi ibu kota Kecamatan Juhar. Adapun desa-desa yang tergabung dengan desa Juhar pada saat pembentukan kecamatan Juhar adalah: Desa Namosuro, Jandi, Naga, Ketawaren, Lau Kidupen, Lau Lingga, Pernantin, Bekilang, Buluh Pancur, Kidupen, Pasar Baru, Mbetung, Gunung Juhar, Segenderang, Batu Mamak, Nageri, Sugihen, Sukababo, Kuta Gugung, Keriahan dan Kuta Mbelin.
Sebagai bentuk kesediaan masyarakat Juhar mengakui kemerdekaan Republik Indonesia, dalam pembenahan kantor-kantor yang dibutuhkan untuk Pemerintahan membuat masyarakat Juhar dengan menyediakan lahan sebagai tempat dibangunnya kantor-kantor pemerintahan. Juhar Peranginangin merupakan perwakilan Desa Juhar dengan memberikan lahan secara cuma-cuma untuk tempat mendirikan Kantor camat, kantor Polisi dan Militer. Sehingga dimulailah pemerintahan Republik Indonesia di desa
Juhar sebagai Ibu kota Kecamatan Juhar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar