Sejarah cerita mengenai Lau Debuk-debuk yaitu dilatarbelakangi oleh suatu kisah yang pernah terjadi di tempat tersebut, seperti yang dikemukakan oleh Dada Meuraxa dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Suku-suku Di Sumatera Utara.
Guru Pertawar Reme (Guru Kandibata) seorang dukun yang terkenal mampu mengobati segala penyakit di Tanah Karo dan di Alas-Gayo (Aceh). Pada suatu waktu bersama istrinya yang juga merupakan seorang Dukun Tenung (dukun Sibaso) merantau ke daerah Alas dan Gayo dan meninggalkan kedua anak gadisnya yaitu Tandang Kumerlang dan Tandang Suasa. Telah beberapa lama sang dukun merantau serta banyak harta yang telah dikumpulkan namun belum pernah pulang ke kampung halamannya. Telah beberapa kali utusan dikirim untuk memanggil sang dukun pulang. Berhubung di Tanah Karo daerahnya telah berjangkit
suatu penyakit yang sangat bahaya, dimana kedua anaknya juga dalam keadaan parah dan akhirnya meninggal. Namun sang dukun belum juga pulang dengan suatu pesan dan janji walau nanti kedua anaknya meninggal asal masih ada tulang belulangnya, sang dukun dapat menghidupkan kembali kedua anaknya.
Demikianlah kedua arwah anak tersebut selalu meratapi nasibnya diatas kuburannya di kaki Deleng Sibayak. Ratapan-ratapan kedua gadis bersaudara itu akhirnya didengar oleh Keramat Batu Ernala, keramat penjaga Deleng Sibayak. Akhirnya kedua gadis bersaudara diambil sebagai anak angkat dengan segala kesenangan di puncak gunung. Akhirnya sang dukun dengan istrinya kembali dan melihat kuburan anaknya. Tapi malang baginya, tulang-tulang anaknya sudah habis dibawa keramat Gunung Sibayak dilebur di dalam kawah gunung. Dengan menyembahnyembah dengan janji menyerahkan segala harta dan keahliannya kepada keramat asal kedua anaknya bisa hidup kembali. Tetapi permohonan si dukun tidak akan mungkin terkabulkan karena semua tulang anaknya telah lenyap di kawah Gunung Sibayak. Karena suatu penyesalan yang tidak terhingga dan perasaan bersalah, akhirnya sang dukun membuang semua keahliannya sebagai dukun, dengan memancangkan piasu saktinya kepada sebuah pohon di suatu tempat di Desa Doulu. Tempat tersebut dinamai oleh penduduk “Pertektekken” atau pemancungan, dimana tak ada tanaman yang dapat tumbuh dan bila ada binatang yang lewat diatasnya akan mati lemas, sedangkan disekitar tempat tersebut pepohonan, rumput-rumput tumbuh subur. (Dada Meuraxa, Sejarah Kebudayaan Suku-suku Di Sumatera Utara, Medan: Sasterawan, 1973, hlm. 345-346).
Anak dari Guru Penawar Reme yaitu Tandang Kumerlang dan Tandang Suasa meninggal, tetapi mereka masih sering menampakkan diri di Lau Debuk-debuk. Tempat tersebut dipercayai sebagai tempat pemandian kedua anak Guru Penawar Reme tersebut, bahkan pada saat-saat tertentu di tempat tersebut tercium wangi bunga. Menurut kepercayaan orang Karo dahulu, hal ini disebabkan karena si anak tersebut sedang mandi. Karena anak tersebut sering memperlihatkan diri di Lau Debuk-debuk tersebut, kedua orang tuanya memiliki keinginan bertemu dan berbicara langsung dengan anaknya tersebut. Maka melalui mimpi ayahnya, sang anak tersebut mengatakan kepada orangtuanya agar menjumpai mereka di Lau Debuk-debuk
dengan cara duduk di atas kain putih (uis dagangen), dengan syarat yaitu, apabila nanti mereka bertatap muka, kedua orang tuanya tidak bisa memeluk atau menyentuhnya. Keesokan harinya kedua orang tua anak tersebut melakukan apa yang disuruh oleh anaknya, akan tetapi untuk bertatap muka dengan anak tersebut sang orang tua tidak bisa menahan diri sehingga memeluk kedua anaknya dan seketika itu juga kedua anaknya tersebut menghilang dan tidak pernah lagi manampakkan diri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar