Pada jaman dahulu Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung mempunyai ketinggian yang sama, tetapi karena perkelahian antara Dewa Raja Umang Deleng Sinabung dan Dewa Raja Umang Deleng Sibayak karena masalah Dewi Ratu Deleng Barus. Akhirnya Dewa Raja Umang Deleng Sinabung dengan kesaktiannya, memancung kepala Deleng Sibayak hingga putus, terbang ke dekat Kampung Kaban yang dinamai dengan Deleng Sikutu, sedangkan kaki Deleng Sinabung dipancung oleh Dewa Raja Umang Deleng Sibayak maka Deleng Sinabung tanpa kaki sekarang ini.
Deleng Sibayak mempunyai penghuni yaitu Dewi Beru Tandang Karo dan Dewi Beru Tandang Riah yang keduanya diyakini beru karo yakni Karo-karo sitepu. Dalam pemanggilannya kedua dewi ini disebut Beru Karo Kertah Ernala. Kedua dewi ini mengusai Deleng Sibayak dan Lau Debuk Debuk.
Deleng Sibayak mempunyai nini yaitu Dewi Beru Tandang Karo dan Dewi Beru Tandang Riah, namun banyak orang yang menyebutnya dengan Beru Karo Kertah Ernala. Kedua dewi ini merupakan penghuni Deleng Sibayak. kedua dewi ini dilarikan oleh Raja Umang Deleng Sibayak.
Adapun ceritanya atau kisahnya hampir sama dengan kepercayaan penduduk Desa Doulu terhadap kisah yang terdapat di Lau Debuk-debuk. Cerita kuno orang Karo menyatakan bahwa Dewi Bru Tandang Karo dan Dewi Bru Tandang Riah menjadi penghuni Deleng Sibayak karena dilarikan oleh Raja Umang Deleng Sibayak.
Pada jaman dahulu di suatu desa, di Tanah Karo, ada sebuah keluarga bernama Guru Pertawar Reme , dari Desa Kandibata. Keluarga ini mempunyai dua orang anak yakni Bru Tandang Karo dan Bru Tandang Riah. Ayah dan ibu kedua putri ini merupakan Guru Sibaso yang sangat hebat dan terkenal dalam mengobati penyakit. Walaupun orang yang sakitnya parah sekali dan telah meninggal dunia, maka Guru Sibaso dapat menghidupkannya kembali. Karena kehebatannya dalam mengobati penyakit, maka Guru Sibaso ini bukan hanya terkenal di Tanah Karo, namun sampai ke daerah Pak-pak atau Dairi.
Pada suatu ketika, kedua anak Guru Petawar Reme ini sakit parah. Setiap malam, kedua anak ini mengerang kesakitan. Guru Sibaso yang manapun dipanggil, namun tidak dapat menyembuhkan penyakit kedua anak ini. Sementara ayah dan ibu kedua putri ini sedang berada di daerah Pak-pak untuk mengobati penyakit. Karena penyakit yang diderita semakin hari semakin parah, sehingga disuruhlah seseorang untuk memanggil kedua orang tua anak ini yang sedang sakit parah. Tetapi ayah dan ibunya menyatakan kepada orang itu, bahwa anaknya pasti sembuh. Sebab sedikit saja tulang belulangnya yang tertinggal, maka ayah dan ibunya dapat menghidupkannya kembali. Setelah selesai kedua orang tuanya mengobati di daerah tersebut ia akan dapat mengobati anaknya dan apabila telah meninggal ia akan dapat menghidupkannya kembali.
Raja Umang Deleng Sibayak mendengar kedua rintihan Dewi Bru Tandang Karo dan Dewi Bru Tandang Riah dan merasa kasihan melihat nasib kedua putri ini. Oleh sebab itu, Raja Umang Deleng Sibayak datang mengambil kedua nyawa putri ini, tanpa sedikitpun dari tubuh yang tersisa, baik tulang belulang dan membawanya ke deleng sibayak. ketika ayah dan ibunya pulang dari daerah Pak-pak, maka kedua putrinya tidak ada lagi dan tulang belulangnya seujung jarum pun tidak ada lagi yang tersisa. Orangtuanya menangis setiap hari, setiap malam meratapi anaknya dan menyesali perbuatannya. Segala upacara telah dilakukan, namun kedua putrinya tidak kembali. Raja Umang Deleng Sibayak mendengar ratapan orang tua putri ini, sehingga Raja Umang Deleng Sibayak menampakkan diri dan berkata, “Jika kamu ingin bertemu kedua putrimu maka kamu harus membuat Gendang Serune 7 hari 7 malam. Tetapi kamu hanya dapat menatap wajahnya, namun tidak boleh menyentuhnya karena kedua putri kamu telah menjadi anakku”.
Kedua orang tua ini bersumpah untuk menuruti permintaan Raja Umang Deleng Sibayak , asalkan dapat melihat putrinya. Maka orang tua putri tadi membunyikan Gendang Serune 7 hari 7 malam. Pada hari terakhir Raja Umang Deleng Sibayak menampakkan kedua putri itu kepada kedua orang tuanya. Orang tuanya merasa sedih melihat kedua putrinya, karena tidak dapat merangkulnya. Setelah saat itu, Bru Tandang Karo dan Bru Tandang Riah menjadi penghuni Deleng Sibayak dan sebagai tempat pemandiannya adalah Tapin Beru Karo, sedangkan tempatnya untuk istirahat adalah Lau Debuk-Debuk, atau dalam bahasa Karo disebutkan Ingan Erngada-ngada emkap Lau Debuk-debuk. Apabila ayah dan ibunya ingin bertemu dengan putrinya, maka harus memanggilnya melalui Erpangir dan membuat Gendang Serune.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar